Marketplace Guru adalah suatu database atau daftar semua guru yang memenuhi syarat untuk mengajar, yang akan dapat diakses oleh seluruh sekolah di Indonesia
Nitikan.id – Guru, pahlawan tanpa tanda jasa, profesi mulia namun penghargaan yang didapat tak seindah yang diharapkan.
Polemik kesejahteraannya tak pernah selesai dibicarakan, distribusi guru yang tidak merata akibat dari sengkarut birokrasi pemerintah pusat dan daerah.
Wajar, di satu daerah dan sekolah mengalami kekurangan dan banyak honorer yang belum diangkat menjadi ASN.
Untuk mengatasi permasalahan distribusi guru, wacana marketplace guru sudah diusulkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim dalam Rapat Kerja Komisi X DPR RI dengan Pemerintah pada 24 Mei 2023.
Gagasan yang muncul sebagai respon terhadap masalah yang terus meningkat terkait guru honorer di Indonesia, namun meskipun ide ini menarik perhatian tetap saja menuai kritik.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf berpendapat bahwa istilah ‘marketplace’ seharusnya digunakan untuk produk barang, ia menyarankan agar menggunakan istilah lain seperti ‘ruang talenta’.
Ya, mungkin pemilihan kata tersebut terkesan merendahkan. Mengapa juga Mas Nadiem harus menggunakan kata itu? Bukankah masyarakat Indonesia itu lebih terkesan pada judul dari pada esensinya.
Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, menyatakan ada kekhawatiran bahwa penggunaan kata ‘marketplace’ dapat merendahkan kedudukan guru dan menganggap mereka hanya sebagai barang dagangan (viva.co.id, 31/5/23).
Problematika dunia pendidikan seolah jauh panggang dari arang, selain polemik kesejahteraan guru, masalah distribusi guru yang tidak merata pun menjadi polemik yang tak terlihat ujungnya.
Melihat data Kemendikbudristek, tercatat pada 2022 ada 77.124 guru pensiun dan jumlah kekurangannya mencapai 1.167.802.
Lalu, pada 2023 ada 75.195 guru pensiun sehingga kekurangan guru sebesar 1.242.997.
Tahun 2024, guru yang akan memasuki usia pensiun sebanyak 69.762 sehingga kekurangan 1.312.759 guru.
Di sisi lain, lulusan Pendidikan Profesi Guru atau PPG Prajabatan 2006-2018 adalah 27.935 orang.
Ditambah dengan peserta PPG Prajabatan 2019 hingga 2021 sebanyak 2.963, jumlahnya belum cukup untuk menggantikan jumlah guru pensiun pada 2022 yang mencapai 77.124 orang (detik.com, 26/5/23)
Jumlah tenaga honorer di Indonesia sangat banyak mencapai 2.360.723 orang. Bahkan, bukan hanya perkara jumlah, ditemukan kejanggalan dalam laporan jumlah tenaga honorer non ASN.
Hal itu disampaikan dalam rapat kerja Komisi II DPR RI, yaitu masih ada 360.950 tenaga honorer yang belum diangkat menjadi ASN padahal masa kerjanya sudah 11-15 tahun.
Padahal, jika diurut waktunya seharusnya mereka sudah masuk ke dalam program pengangkatan tenaga honorer pada 2015 lalu (CNBC 23/11/22).
Dari data di atas, terang sekali persoalan distribusi guru dan kesejahteraan mereka harus segera dicarikan solusi.
Menteri Pendidikan menganggap, bahwa solusi dari distribusi guru dengan adanya program marketplace guru yang saat ini ramai diwacanakan walau penggunaan istilahnya menuai kritik dari berbagai pihak.
Nadiem menjelaskan bahwa marketplace yang dimaksud ialah suatu database atau daftar semua guru yang memenuhi syarat untuk mengajar, yang akan dapat diakses oleh seluruh sekolah di Indonesia.
Konsep ini memungkinkan perekrutan guru dilakukan kapan saja, di mana sekolah dapat merekrut guru secara real time dan langsung, bukan lagi melalui perekrutan terpusat oleh pemerintah.
Dengan kata lain, frekwensi perekrutan guru dapat dilakukan lebih dari sekali dalam setahun sesuai dengan kebutuhan.
Keputusan ini memberikan fleksibilitas kepada calon guru dalam mendaftar dan memilih lokasi mengajar tanpa harus menunggu proses perekrutan secara terpusat.
Kriteria perekrutan akan menjadi lebih ketat, memastikan bahwa semua guru atau calon guru yang masuk ke dalam marketplace ini berhak mengajar di sekolah-sekolah.
Terlepas dari penggunaan bahasa marketplace atau istilah apa pun, sengkarut birokrasi menjadi salah satu penyebab tidak meratanya distribusi guru di negeri ini.
Bagaimana bisa sebuah sekolah merekrut tenaga honorer tanpa ada koordinasi dengan pemerintah daerah dan tanpa diketahui pemerintah pusat.
Sehingga, pada saat membayar tenaga atau jasa mereka terjadi saling lempar bola antar sekolah dengan pemerintah daerah dan antara pemerintah daerah dengan pusat.
Parahnya, hal ini bukan hanya terjadi di satu tempat melainkan di banyak tempat. Sehingga semakin menumpuk tenaga honorer yang tak jelas kesejahteraannya.
Selain itu, kebijakan setiap menteri yang menjabat terkadang berbeda antara satu dengan yang lain.
Sistem demokrasi nyatanya belum bisa menjamin kesejahteraan guru khususnya tenaga honorer dan distribusi guru belum merata.
Padahal, pendidikan adalah elemen yang sangat penting bagi negara. Maka, negara seharusnya memiliki peran yang sangat besar untuk merapikan birokrasi dan tata kelola distribusi guru.
Kewajiban negara meyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang berkerja di kantor pendidikan.
Negara juga akan menyeleksi dan mengontrol dengan ketat terhadap para tenaga pendidik. Penetapan kualifikasi pendidik berupa integritas dan kapabilitas mengajar.
Negara akan menjamin distribusi guru dengan baik sesuai kebutuhan rakyat sehingga tidak terjadi sengkarut birokrasi.
Jika sudah didapatkan tenaga pendidik yang sesuai kualifikasi, negara harus menjamin kesejahteraan hidup para tenaga pendidik agar mereka bisa fokus dalam penelitian dan pengembangan ilmu bagi anak didik.
Sehingga, tidak disibukkan dengan aktivitas mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah, para malaikat dan semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, sampai semut yang ada di liangnya dan juga ikan besar di lautan semuanya bershalawat kepada muallim (orang yang berilmu/guru) yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi)