Nitikan.id – Aku tidak pernah benar-benar tahu sejak kapan menulis menjadi tempat sembunyi.
Mungkin sejak kali pertama aku merasa dunia tidak selalu ingin dimengerti. Hanya ingin dimiliki, diperebutkan, dimenangkan.
Waktu kecil, aku mengira orang dewasa adalah mereka yang tahu segalanya. Tapi ketika dewasa itu datang, aku justru menemukan kebisingan. Orang-orang bicara banyak, tapi jarang mendengarkan. Politik tumbuh jadi panggung,
dan panggung itu dipenuhi aktor yang tak pernah turun, bahkan ketika pertunjukan sudah usai.
Bisnis? Semakin aku mengerti angka, semakin aku sadar bahwa tak semua yang bernilai bisa dihitung. Dan tak semua yang dihitung benar-benar bernilai.
Aku menulis di tengah itu semua. Di sela-sela berita tentang orang yang ditangkap karena korupsi, dan orang yang jadi kaya karena menjual ketakutan. Di antara rapat-rapat yang bicara soal strategi, tapi tidak tahu bagaimana rasanya lapar. Di antara iklan-iklan yang menjanjikan kebahagiaan, padahal yang dijual hanya kecemasan baru.
Menulis menjadi cara untuk bernapas pelan. Sebab dunia seperti terus berlari dan menyeret siapa pun yang tak sanggup ikut cepat.
Kadang-kadang aku merasa bersalah. Ketika sedang mengetik puisi, sementara ada orang lain sedang dipaksa keluar dari rumahnya karena proyek jalan tol. Ketika menulis tentang kesunyian,
sementara di luar sana anak-anak sedang dilatih membenci sebelum mereka belajar berempati.
Tapi justru di situlah menulis menemukan bentuknya yang paling manusiawi. Bukan pelarian tapi upaya kecil untuk tetap merawat sisi-sisi rapuh dalam diri. Sisi yang terlalu mudah hancur kalau terus diseret oleh dunia yang tak mengenal jeda.
Pernah suatu malam, aku duduk bersama seorang teman lama. Dia kini bekerja di perusahaan besar, gajinya jauh di atas rata-rata. Tapi matanya lelah.
Suaranya pecah.
“Kadang aku iri sama kamu,” katanya.
“Kamu bisa menulis. Bisa berhenti sebentar, lalu mencatat hidup.”
Aku tertawa kecil. Kuhapus kalimat yang sedang kutulis di ponsel, lalu kujawab,
“Justru karena aku tidak punya apa-apa, maka aku menulis. Karena tidak semua orang bisa berlari,
dan menulis adalah cara berjalan pelan ketika dunia menyuruh kita berlari.”
Politik mungkin akan terus ganas. Bisnis akan terus menggertak, mengejar, menghabisi yang lambat dan jujur. Tapi selama masih ada selembar kertas kosong, atau layar sunyi menunggu jari mengetik, selama itu pula ada tempat untuk kembali, tempat yang tidak menuntut kita menjadi apa-apa selain menjadi utuh.
Dalam bentuk terbaiknya, seni menulis adalah cara mencintai diri sendiri ketika dunia hanya mau menghisap laksana lintah. Ia tidak menyelamatkan dunia. Tapi mungkin, dengan menulis, kita menyelamatkan sesuatu yang jauh lebih penting, kesadaran bahwa kita masih manusia.
