Nitikan.id – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memaparkan sedikitnya tiga permasalahan lingkungan hidup yang ditemukan dari hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atas usulan lokasi ibu kota baru Indonesia (IKN) di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur .
Tiga masalah tersebut adalah ancaman terhadap tata air dan risiko perubahan iklim, ancaman terhadap flora dan fauna lokal serta ancaman pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Salah satu ancaman terhadap tata air terkait dengan sistem hidrologi. Dalam KLHS disebutkan sistem akan terganggu dan air tanah tidak memadai.
Laporan Walhi yang disusun bersama beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan lainnya juga menyebut lokasi ibu kota baru berada di wilayah strategis yang mendukung kebutuhan sumber daya air lima wilayah lainnya secara bersamaan.
Kelima wilayah tersebut adalah Balikpapan, Penajam Paser Utara, pesisir Kutai Kartanegara khususnya Kecamatan Samboja, Kecamatan Muara Jawa beserta Kecamatan Loa Kulu dan Kota Samarinda bagian selatan.
Walhi mengatakan, meski dalam kondisi normal, Kota Balikpapan kerap dihadapkan pada kekurangan air minum bersih karena Penajam Paser merupakan sumber air bagi sebagian Balikpapan.
Meski dalam rencana tata ruang wilayah menetapkan 52 persen wilayah kota sebagai kawasan lindung, warga Kota Balikpapan masih akan mengalami masalah ketersediaan air. [“Ibu Kota Baru, Untuk Siapa?”]
Selain masalah sistem hidrologi, masalah lainnya adalah daerah resapan air akan terganggu yang membawa risiko pencemaran air dan kekeringan.
Sumber air bersih tidak mencukupi sepanjang tahun, ditambah ketidakmampuan mengelola air limbah yang dihasilkan oleh ibu kota baru dan penduduknya akan memperparah persoalan ini.
Masalah kedua terkait dengan ancaman terhadap flora dan fauna yang salah satunya meningkatkan resiko konflik manusia dan hewan.
Selain itu, juga akan mengancam flora dan fauna yang memiliki fungsi penting jasa ekosistem. Selain itu, pembangunan ibu kota baru akan mengancam ekosistem mangrove seluas 2.603 hektare di Teluk Balikpapan.
Masalah ketiga berkaitan dengan ancaman pencemaran dan kerusakan lingkungan, yang mana lokasi ibu kota baru berada di wilayah yang rawan tumpahan minyak.
Pada kasus-kasus sebelumnya, daerah tersebut terkena dampak pencemaran tumpahan minyak dari Pertamina.
Sedangkan aliran akibat tingkat pencemaran yang tinggi berisiko mengurangi unsur hara bagi wilayah pesisir dan perairannya.
Selain itu, banyaknya konsesi pertambangan dan banyaknya lubang tambang terbuka yang belum ditimbun juga akan meningkatkan risiko pencemaran air tanah, air permukaan, dan pesisir.
Sebab, ada sekitar 162 konsesi pertambangan, perkebunan kelapa sawit, dan pembangkit listrik tenaga batu bara yang terletak di wilayah ibu kota baru yang luasnya sekitar 180.000 hektare atau setara tiga kali luas provinsi Jakarta. Belum termasuk tujuh proyek pengembangan properti di kota Balikpapan.
Selain itu, Walhi juga melihat ibu kota baru sebagai bencana ekologis yang semakin parah dan mengambil alih wilayah yang dikelola rakyat.
Banjir yang terjadi di kawasan Ring I IKN pada akhir tahun 2021, menegaskan bahwa kawasan tersebut tidak layak berdasarkan KLHS sebagai lokasi IKN.

